Pengawasan, pengendalian, penilaian
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN
(SUPERVISI, MANAJEMEN MUTU & RESIKO)
Oleh : Windy Rakhmawati, S.Kp, M.Kep.
Pengawasan dan Pengendalian merupakan proses akhir dari proses manajemen,
dimana dalam pelaksanaannya proses pengawasan dan pengendalian saling keterkaitan
dengan proses-proses yang lain terutama dalam perencanaan. Dalam proses manajemen
ditetapkan suatu standar yang menjadi acuan, diantaranya yaitu : visi-misi, standar asuhan,
penampilan kinerja, keuangan, dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam
pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan apakah setiap tahapan proses manajemen
telah sesuai dengan standar atau tidak dan jika ditemukan adanya penyimpangan maka
perlu dilakukan pengendalian sehingga kembali sesuai standar yang berlaku.
Komponen Pengawasan dan Pengendalian adalah : 1) Setting standar, 2) Measuring
Perform, 3) Reporting Result, 4) Corrective Action, 5) Redirection
A. Evaluasi Personil ; Penilaian Kinerja
Tenaga Keperawatan merupakan salah satu sumber daya manusia dalam suatu unit
pelayanan keperawatan. Dimana kualitas pelayanan keperawatan sangat berkaitan erat
dengan kualitas sumber daya manusianya, sehingga perlu dilakukan upaya yang terus
menerus untuk meningkatkan kualitas kerja perawat yaitu dengan melakukan “Penilaian
Kinerja”.
Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)
1. Definisi
Douglass (1992) mengatakan bahwa Penilaian Kinerja adalah metode untuk
mendapatkan dan memproses informasi yang dibutuhkan. Sedangkan Marquis dan
Houston (2000) menjelaskan pengertian penilaian kinerja adalah salah satu bagian dari
proses pengawasan dan pengendalian, dimana kinerja staf keperawatan dinilai dan
dibandingkan dengan standar yang ada pada organisasi. Dengan demikian penilaian
kinerja juga dapat dikatakan sebagai suatu proses ketika suatu unit keperawatan Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 2
mengevaluasi hasil kerja atau prestasi para pemegang jabatan, baik sebagai kepala
bidang keperawatan, kepala ruangan maupun sebagai perawat pelaksana.
2. Manfaat Penilaian Kinerja
Hasil penilaian kinerja dari masing-masing staf keperawatan memiliki nilai manfaat
dan kegunaan, diantaranya yaitu :
a) Setiap staf keperawatan akan mengetahui dimana letak kekurangan dirinya,
sehingga catatan kekurangan dirinya akan menjadi dasar untuk perbaikan
kinerjanya dikemudian hari.
b) Sebagai dasar dalam penyesuaian kompensasi, dimana kompensasi dimaksudkan
sebagai reward atas kinerja yang ditampilkan.
c) Kinerja yang ditampilkan dapat menjadi pertimbangan bagi staf untuk
dipromosikan atau adanya penurunan jabatan.
d) Untuk menentukan pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan oleh staf
keperawatan
e) Untuk menentukan perencanaan dan pengembangan karir dari masing-masing staf
keperawatan
f) Defisiensi penempatan staf
g) Ketidakakuratan informasi dapat diklarifikasi dengan hasil dari penilaian kinerja
h) Dapat mendiagnosis kesalahan dari rancangan pekerjaan
i) Memberikan kesempatan kerja yang adil bagi seluruh staf keperawatan
j) Tantangan eksternal
k) Sebagai umpan balik pada staf keperawatan
3. Metode Evaluasi
a) Anecdotal records
Penilaian yang didasarkan pada catatan kinerja dari staf keperawatan pada periode
tertentu
b) Check list
Penilaian yang menggunakan instrument khusus dapat melalui observasi maupun
kuesioner, dimana dalam instrument tersebut sudah terdapat pernyataan-pernyataan
yang tinggal di check list sesuai kinerja yang ditampilkan staf perawatDisampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 3
c) Rating scales
Penilaian yang menggunakan skala yang member gambaran mulai dari kinerja
tinggi sampai rendah
d) Metode manajemen berdasarkan sasaran (Management By Objective-MBO)
merupakan suatu program penilaian dan penetapan tujuan diseluruh organisasi yang
komfrehensif dengan menetapkan tujuan organisasi, menetapkan tujuan
departemental, membahas tujuan departemen, menetapkan sasaran yang
diharapkan, mengukur hasilnya dengan tolok ukur yang telah disepakati, sehingga
dapat digunakan sebagai umpan balik secara berkala.
e) Peer review
Penilaian dilakukan oleh kelompok khusus yang memiliki profesi dan keilmuan
yang sama.
f) Critical incident
Penilai membuat buku harian yang berisi contoh-contoh yang diinginkan atau tidak
diinginkan atau insiden dari perilaku staf perawat yang berhubungan dengan kerja
masing-masing jawaban.
B. Supervisi
1. Definisi
Supervisi adalah proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan
pekerjaan yang dilakukan bawahannya sesuai dgn rencana, perintah, tujuan/kebijakan
yang telah ditentukan (Mc Farland, 1988 dalam Harahap, 2004). Selain itu Swansburg
(1999) juga mendefinisikan supervisi sebagai segala usaha untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas, dimana dalam
pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu menghargai potensi tiap
individu, mengembangkan potensi tiap individu, dan menerima tiap perbedaan.
Dalam supervisi keperawatan dapat dilakukan oleh pemangku jabatan dalam berbagai
level seperti ketua tim, kepala ruangan, pengawas, kepala seksi, kepala bidang
perawatan atau pun wakil direktur keperawatan. Namun pada dasarnya seorang
supervisor harus memiliki kemampuan sebagai berikut : 1) membuat perencanaan
kerja, 2) Kontrol terhadap pekerjaan, 3) Memecahkan masalah, 4) Memberikan umpan
balik terhadap kinerja, 5) Melatih (coaching) bawahan, 6) Membuat dan memelihara Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 4
atmosfir kerja yang motivatif, 7) Mengelola waktu, 8) Berkomunikasi secara informal,
9) Mengelola diri sendiri, 10) Mengetahui sistem manajemen perusahaan, 11)
Konseling karir, 12) Komunikasi dalam pertemuan resmi.
2. Prinsip supervisi
a) Sesuai dengan struktur organisasi
b) Dilandasi pengetahuan manajemen, HAM, klinis/keperawatan, dan kepemimpinan
c) Fungsi supervisi diuraikan dengan jelas dan terorganisir
d) Merupakan suatu kerjasama yang demokratis
e) Menggunakan proses manajemen menerapkan visi, misi, tujuan yang harus
direncanakan dengan baik
f) Harus mendukung/menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi efektif
g) Yang menjadi fokus dalam supervise adalah kepuasan klien, perawat dan manajer
3. Teknik supervisi
a) Langsung
Teknik supervisi dimana supervisor berpartisipasi langsung dalam melakukan
supervisi. Kelebihan dari teknik ini pengarahan dan petunjuk dari supervisor tidak
dirasakan sebagai suatu perintah, selain itu umpan balik dan perbaikan dapat
dilakukan langsung saat ditemukan adanya penyimpangan.
b) Tidak langsung
Teknik supervisi yang dilakukan melalui laporan baik tertulis maupun lisan
sehingga supervisor tidak melihat langsung apa yang terjadi di lapangan.
4. Elemen Proses Supervisi :
a) Standar praktek keperawatan yang digunakan sebagai acuan dalam menilai dan
mengarahkan penyimpangan yang terjadi.
b) Fakta empirik di lapangan, sebagai pembanding untuk pencapaian tujuan dan
menetapkan kesenjangan
c) Adanya tindak lanjut sebagai upaya mempertahankan kualitas maupun upaya
memperbaikiDisampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 5
C. Manajemen Mutu
1. Definisi Mutu Pelayanan
a. Mutu
Definisi mengenai mutu telah banyak dijelaskan oleh para ahli. Azwar (1996)
menjelaskan bahwa mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan
sesuatu yang sedang diamati dan juga merupakan kepatuhan terhadap standar
yang telah ditetapkan, sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu
adalah penyesuaian terhadap keinginan pelanggan dan sesuai dengan standar
yang berlaku serta tercapainya tujuan yang diharapkan. Berdasarkan uraian di
atas, maka mutu dapat dikatakan sebagai kondisi dimana hasil dari produk
sesuai dengan kebutuhan pelanggan, standar yang berlaku dan tercapainya
tujuan. Mutu tidak hanya terbatas pada produk yang menghasilkan barang
tetapi juga untuk produk yang menghasilkan jasa atau pelayanan termasuk
pelayanan keperawatan.
b. Pelayanan Keperawatan
1) Pelayanan
Produk yang dihasilkan oleh suatu organisasi dapat menghasilkan barang
atau jasa. Jasa diartikan juga sebagai pelayanan karena jasa itu
menghasilkan pelayanan (Supranto, 2006). Definisi mengenai pelayanan
telah banyak dijelaskan, dan Kottler (2000, dalam Supranto, 2006)
menjelaskan mengenai definisi pelayanan adalah suatu perbuatan di mana
seseorang atau suatu kelompok menawarkan pada kelompok/orang lain
sesuatu yang pada dasarnya tidak berwujud dan produksinya berkaitan
atau tidak berkaitan dengan fisik produk, sedangkan Tjiptono (2004)
menjelaskan bahwa pelayanan merupakan aktivitas, manfaat atau
kepuasan yang ditawarkan untuk dijual, sehingga dapat dikatakan bahwa
pelayanan itu merupakan suatu aktivitas yang ditawarkan dan
menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud namun dapat dinikmati atau
dirasakan.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 6
Kotler (1997) dan Tjiptono (2004), menjelaskan karakteristik dari
pelayanan sebagai berikut :
a) Intangibility (tidak berwujud), yaitu suatu pelayanan mempunyai
sifat tidak berwujud, tidak dapat dirasakan atau dinikmati, tidak dapat
dilihat, didengar dan dicium sebelum dibeli oleh konsumen. Misalnya
: pasien dalam suatu rumah sakit akan merasakan bagaimana
pelayanan keperawatan yang diterimanya setelah menjadi pasien
rumah sakit tersebut.
b) Inseparibility (tidak dapat dipisahkan), yaitu pelayanan yang
dihasilkan dan dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila
dikehendaki oleh seseorang untuk diserahkan kepada pihak lainnya,
dia akan tetap merupakan bagian dari pelayanan tersebut. Dengan kata
lain, pelayanan dapat diproduksi dan dikonsumsi/dirasakan secara
bersamaan. Misalnya : pelayanan keperawatan yang diberikan pada
pasien dapat langsung dirasakan kualitas pelayanannya.
c) Variability (bervariasi), yaitu pelayanan bersifat sangat bervariasi
karena merupakan non standardized dan senantiasa mengalami
perubahan tergantung dari siapa pemberi pelayanan, penerima
pelayanan dan kondisi di mana serta kapan pelayanan tersebut
diberikan. Misalnya : pelayanan yang diberikan kepada pasien di
ruang rawat inap kelas VIP berbeda dengan kelas tiga.
d) Perishability (tidak tahan lama), dimana pelayanan itu merupakan
komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Misalnya :
jam tertentu tanpa ada pasien di ruang perawatan, maka pelayanan
yang biasanya terjadi akan hilang begitu saja karena tidak dapat
disimpan untuk dipergunakan lain waktu.
Selain itu, Kotler (1997, dalam Supranto, 2006) juga menjelaskan
mengenai karakteristik dari pelayanan dengan membuat batasan-batasan
untuk jenis-jenis pelayanan pelayanan sebagai berikut : 1) pelayanan itu
diberikan dengan berdasarkan basis peralatan (equipment based) atau
basis orang (people based) dimana pelayanan berbasis orang berbeda dari
segi penyediaannya, yaitu pekerja tidak terlatih, terlatih atau profesional; Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 7
2) beberapa jenis pelayanan memerlukan kehadiran dari klien (client’s
precense); 3) pelayanan juga dibedakan dalam memenuhi kebutuhan
perorangan (personal need) atau kebutuhan bisnis (business need); dan 4)
pelayanan yang dibedakan atas tujuannya, yaitu laba atau nirlaba (profit or
non profit) dan kepemilikannya swasta atau publik (private or public).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pelayanan merupakan salah satu bentuk hasil dari produk yang
memberikan pelayanan yang mempunyai sifat tidak berwujud sehingga
pelayanan hanya dapat dirasakan setelah orang tersebut menerima
pelayanan tersebut. Selain itu, pelayanan memerlukan kehadiran atau
partisipasi pelanggan dan pemberi pelayanan baik yang profesional
maupun tidak profesional secara bersamaan sehingga dampak dari
transaksi jual beli pelayanan dapat langsung dirasakan dan jika pelanggan
itu tidak ada maka pemberi pelayanan tidak dapat memberikan pelayanan.
Namun hasil dari pelayanan tersebut mungkin akan berbeda-beda pada
setiap orangnya tergantung dari siapa pemberi pelayanan, penerima
pelayanan dan kondisi di mana serta kapan pelayanan tersebut diberikan.
Hal ini didasarkan pada perbedaan standar kebutuhan atau kepentingan
seseorang terhadap mutu pelayanan. Proses pemberian pelayanan pun
dapat terjadi pada area keperawatan, sehingga seyogyanya dibahas
mengenai konsep keperawatan sehingga dapat ditemukan definisi mutu
dalam pelayanan keperawatan.
2) Keperawatan
Keperawatan sudah banyak didefinisikan oleh para ahli, dan menurut
Herderson (1966, dalam Kozier et al, 1997) menjelaskan keperawatan
sebagai kegiatan membantu individu sehat atau sakit dalam melakukan
upaya aktivitas untuk membuat individu tersebut sehat atau sembuh dari
sakit atau meninggal dengan tenang (jika tidak dapat disembuhkan), atau
membantu apa yang seharusnya dilakukan apabila ia mempunyai cukup
kekuatan, keinginan, atau pengetahuan. Sedangkan Kelompok Kerja
Keperawatan (1992) menyatakan bahwa keperawatan adalah suatu Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 8
bentuk layanan profesional yang merupakan bagian integral dari layanan
kesehatan, berbentuk layanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik
sakit maupun sehat, yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Layanan keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik dan
mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan dalam
melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
Pelayanan Keperawatan yang diberikan kepada pasien menimbulkan
adanya interaksi antara perawat dan pasien, sehingga perlu diperhatikan
kualitas hubungan antara perawat dan pasien. Hubungan ini dimulai sejak
pasien masuk rumah sakit. Kozier et al (1997) menyatakan bahwa
hubungan perawat-pasien menjadi inti dalam pemberian asuhan
keperawatan, karena keberhasilan penyembuhan dan peningkatan
kesehatan pasien sangat dipengaruhi oleh hubungan perawat-pasien. Oleh
karena itu metode pemberian asuhan keperawatan harus memfasilitasi
efektifnya hubungan tersebut. Konsep yang mendasari hubungan perawatpasien adalah hubungan saling percaya, empati, caring, otonomi, dan
mutualitas.
Pengertian keperawatan di atas dikaitkan dengan karakteristik dan batasan
yang telah dijelaskan sebelumnya, maka keperawatan dapat dikatakan
sebagai jenis produk yang menghasilkan pelayanan yang berbasis orang
(people based) yaitu berbasis pada pasien baik sakit maupun sehat akibat
ketidaktahuan, ketidakmampuan, atau ketidakmauan dengan menyediakan
layanan keperawatan oleh tenaga perawat profesional berbentuk layanan
bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif. Sebagai suatu praktek
keperawatan yang profesional, dalam pelayanannya menggunakan
pendekatan proses keperawatan yang merupakan metode yang sistematis
dalam memberikan asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Namun
dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kualitas hubungan antara
perawat dan pasien yaitu rasa percaya, empati dan caring.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 9
Berdasarkan penjelasan mengenai mutu dan pelayanan keperawatan di atas, maka
mutu pelayanan keperawatan dapat merupakan suatu pelayanan keperawatan yang
komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang diberikan oleh perawat
profesional kepada pasien (individu, keluarga maupun masyarakat) baik sakit
maupun sehat, dimana perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien
dan standar pelayanan. Namun pada dasarnya, definisi mutu pelayanan
keperawatan itu dapat berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana mutu
tersebut dilihat. Berbagai sudut pandang mengenai definisi mutu pelayanan
keperawatan tersebut diantaranya yaitu :
a. Sudut Pandang Pasien (Individu, Keluarga, Masyarakat)
Meishenheimer (1989) menjelaskan bahwa pasien atau keluarga pasien
mendefinisikan mutu sebagai adanya perawat atau tenaga kesehatan yang
memberikan perawatan yang terampil dan kemampuan perawat dalam
memberikan perawatan. Sedangkan Wijono (2000) menjelaskan mutu
pelayanan berarti suatu empati, respek dan tanggap akan kebutuhannya,
pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara yang
ramah pada waktu mereka berkunjung. Pada umumnya mereka ingin
pelayanan yang mengurangi gejala secara efektif dan mencegah penyakit,
sehingga pasien beserta keluarganya sehat dan dapat melaksanakan tugas
mereka sehari-hari tanpa gangguan fisik.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa mutu
pelayanan keperawatan didefinisikan oleh pasien (individu, keluarga,
masyarakat) sebagai pelaksanaan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan
kebutuhannya yang berlandaskan rasa empati, penghargaan, ketanggapan, dan
keramahan dari perawat serta kemampuan perawat dalam memberikan
pelayanan. Selain itu melalui pelayanan keperawatan tersebut, juga dapat
menghasilkan peningkatan derajat kesehatan pasien.
b. Sudut Pandang Perawat
Mutu berdasarkan sudut pandang perawat sering diartikan dengan
memberikan pelayanan keperawatan sesuai yang dibutuhkan pasien agar Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 10
menjadi mandiri atau terbebas dari sakitnya (Meishenheimer, 1989). Pendapat
lainnya dikemukakan oleh Wijono (2000), bahwa mutu pelayanan berarti
bebas melakukan segala sesuatu secara profesional untuk meningkatkan
derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang maju, mutu pelayanan yang baik dan memenuhi standar
yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perawat sebagai tenaga
profesional yang memberikan pelayanan keperawatan terhadap pasien
mendefinisikan mutu pelayanan keperawatannya sebagai kemampuan
melakukan asuhan keperawatan yang profesional terhadap pasien (individu,
keluarga, masyarakat) dan sesuai standar keperawatan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
c. Sudut Pandang Manajer Keperawatan
Mutu pelayanan difokuskan pada pengaturan staf, pasien dan masyarakat yang
baik dengan menjalankan supervisi, manajemen keuangan dan logistik dengan
baik serta alokasi sumber daya yang tepat (Wijono, 2000). Pelayanan
keperawatan memerlukan manajemen yang baik sehingga manajer
keperawatan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan dengan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen
dengan baik yang memfokuskan pada pengelolaan staf keperawatan dan
pasien sebagai individu, keluarga dan masyarakat. Selain itu pengelolaan pun
mencakup pada manajemen keuangan dan logistik.
d. Sudut Pandang Institusi Pelayanan
Meishenheimer (1989) mengemukakan bahwa mutu pelayanan diasumsikan
sebagai kemampuan untuk bertahan, pertimbangan penting mencakup tipe dan
kualitas stafnya untuk memberikan pelayanan, pertanggungjawaban intitusi
terhadap perawatan terhadap pasien yang tidak sesuai, dan menganalisis
dampak keuangan terhadap operasional institusi. Sedangkan Wijono (2000)
menjelaskan bahwa mutu dapat berarti memiliki tenaga profesional yang
bermutu dan cukup. Selain itu mengharapkan efisiensi dan kewajaran
penyelenggaraan pelayanan, minimal tidak merugikan dipandang dari Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 11
berbagai aspek seperti tidak adanya pemborosan tenaga, peralatan, biaya,
waktu dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, maka definisi mutu pelayanan keperawatan dari
pandangan intitusi pelayanan yaitu terlaksananya efektifitas dan efisiensi
pelayanan termasuk dalam hal ketenagaan, peralatan, biaya operasional, dan
waktu pelayanan. Efektifitas dan efisiensi pelayanan tersebut didukung
dengan peningkatan mutu stafnya, selain itu rumah sakit pun dituntut untuk
mempunyai tanggung jawab terhadap pelayanan keperawatan yang
menimbulkan dampak negatif pada pasien.
e. Sudut Pandang Organisasi Profesi
Badan legislatif dan regulator sebagai pembuat kebijakan baik lokal maupun
nasional lebih menekankan pada mendukung konsep mutu pelayanan sambil
menyimpan uang pada program yang spesifik. Dan selain itu juga
menekankan pada institusi-institusi pelayanan keperawatan dan fasilitas
pelayanan keperawatan. Badan akreditasi dan sertifikasi menyamakan kualitas
dengan mempunyai seluruh persyaratan administrasi dan dokumentasi klinik
yang lengkap pada periode waktu tertentu dan sesuai dengan standar pada
level yang berlaku. Sertifikat mengindikasikan bahwa institusi pelayanan
keperawatan tersebut telah sesuai standar minimum untuk menjamin
keamanan pasien. Sedangkan akreditasi tidak hanya terbatas pada standar
pendirian institusi tetapi juga membuat standar sesuai undang-undang yang
berlaku (Meishenheimer , 1989).
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai organisasi profesi
mempunyai tanggung jawab dalam meningkatkan profesi keperawatan.
Sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan, organisasi
profesi tersebut membuat dan memfasilitasi kebijakan regulasi keperawatan
yang mencakup sertifikasi, lisensi dan akreditasi. Dimana regulasi tersebut
diperlukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pelayanan keperawatan yang
diberikan telah berdasarkan kaidah suatu profesi dan pemberi pelayanan
keperawatan telah memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 12
Melihat banyaknya sudut pandang yang mendefinisikan mutu pelayanan
keperawatan, maka perlu diperhatikan bahwa subjek dari pemberian pelayanan
keperawatan adalah pasien sehingga outcome pelayanan keperawatan lebih
difokuskan pada pasien. Dan oleh karena mutu merupakan fenomena yang
komprehensif, maka perlu dibahas mengenai dimensi mutu sebagai karakteristik
yang patut diperhitungkan, untuk membantu pola fikir dalam menetapkan masalah
dan menganalisa masalah apakah mutu pelayanan keperawatan telah sesuai standar
atau belum. Untuk memahami konsep mutu pelayanan keperawatan dengan baik
maka perlu dipahami mengenai dimensi mutu akan dibahas pada sub bab berikut
ini.
2. Dimensi Mutu
Fedoroff (2006, Servqual - Zeithmal, Parasuraman, Berry, hlm.1,
http//www.12manage.com/methods_zeithmal-serqual.html, diperoleh tanggal 21
September 2006) dan Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi
dasar untuk mengukur kepuasan, yaitu :
a. Tangible (bukti langsung), yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, personil,
dan media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh pelanggan. Dan
untuk mengukur dimensi mutu ini perlu menggunakan indera penglihatan.
b. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya artinya adalah konsisten.
Sehingga reliability mempunyai dua aspek penting yaitu kemampuan
memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan dan seberapa jauh mampu
memberikan pelayanan yang tepat atau akurat.
c. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kesediaan/kemauan untuk membantu
pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan kata lain bahwa
pemberi pelayanan harus responsif terhadap kebutuhan pelanggan.
Responsiveness juga didasarkan pada persepsi pelanggan sehingga faktor
komunikasi dan situasi fisik disekitar pelanggan merupakan hal yang penting
untuk diperhatikan.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 13
d. Assurance (jaminan kepastian), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan
dan kemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan keyakinan atas
pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dan komponen dari dimensi ini
yaitu keramahan, kompetensi, dan keamanan.
e. Emphaty (empati), yaitu membina hubungan dan memberikan pelayanan
serta perhatian secara individual pada pelanggannya.
Pendapat lain mengenai dimensi mutu juga dijelaskan oleh Oki (2000) dalam tujuh
dimensi diantaranya yaitu sebagai berikut : 1) Time, yaitu seberapa lama customer
anda harus menunggu layanan pelayanan Anda; 2) Timeliness yaitu apakah
layanan pelayanan anda dapat diberikan sesuai janji ?; 3) Completeness , yaitu
apakah semua bagian atau item dari pelayanan anda, dapat diberikan pada
customer anda ?; 4) Courtes, yaitu apakah karyawan yang berada di "garis depan"
menyapa dan melayani customer anda dengan ramah dan menyenangkan ?; 5)
Consistency, yaitu apakah layanan pelayanan anda selalu dilakukan dengan cara
yang sama untuk semua customer ?; 6) Accessbility and convenience, yaitu
apakah layanan pelayanan anda mudah dijangkau dan dinikmati ?; dan 7)
Responsiveness,: yaitu apakah karyawan anda selalu tanggap dan dapat
memecahkan masalah yang tidak terduga ?
Selain pendapat-pendapat di atas mengenai dimensi mutu, Tjong (2004) juga
menjelaskan dimensi dari mutu pelayanan dalam lima dimensi, diantaranya yaitu
sebagai berikut :
a. Dapat Dipercaya (Reliability)
Dapat dipercaya artinya konsisten, dan pelayanan akan dapat diberikan jika
dapat dipercaya oleh pelanggan.
b. Responsif (Responsiveness)
Responsif secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kecepatan dan
ketanggapan.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 14
c. Buat Pelanggan Merasa Dihargai (Makes Customer Feel Valued)
Pelanggan mempunyai pikiran bahwa merekalah yang orang yang sangat
penting saat itu, sehingga perlu diperhatikan bagaimana menghargai
pelanggan.
d. Empati (Empaty)
Empati merupakan keahlian yang sangat bermanfaat, karena melalui empati
dapat menjembatani pembicaraan kepada solusi. Dan melalui empati, pemberi
pelayanan akan berada di sisi yang sama dengan pelanggan sehingga dapat
lebih memahami kebutuhan pelanggan.
e. Kompetensi (Competency)
Kompetensi dalam hal ini lebih difokuskan pada staf yang langsung
berhubungan dengan pelanggan. Pelanggan cenderung tidak mau berhubungan
dengan manajer, tetapi mereka lebih menginginkan orang pertama yang
bertemu merekalah yang harus dapat menyelesaikan masalah mereka.
Mempelajari pendapat-pendapat di atas mengenai dimensi-dimensi mutu dalam
pelayanan, pada dasarnya semuanya hampir memiliki kesamaan makna. Oleh
karena itu dimensi mutu tersebut dapat dirumuskan secara sederhana yang dapat
mencakup keseluruhan arti dari dimensi mutu yang dikemukakan oleh para ahli di
atas dan dapat diaplikasikan dalam mutu pelayanan keperawatan. Dimensi mutu
dalam pelayanan keperawatan tersebut diantaranya yaitu :
a. Tangible (bukti langsung) :
Merupakan hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh pasien
yang meliputi ‘fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan staf keperawatan’.
Sehingga dalam pelayanan keperawatan, bukti langsung dapat dijabarkan
melalui : kebersihan, kerapian, dan kenyamanan ruang perawatan; penataaan
ruang perawatan; kelengkapan, kesiapan dan kebersihan peralatan perawatan
yang digunakan; dan kerapian serta kebersihan penampilan perawat.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 15
b. Reliability (keandalan) :
Keandalan dalam pelayanan keperawatan merupakan kemampuan untuk
memberikan ‘pelayanan keperawatan yang tepat dan dapat dipercaya’, dimana
‘dapat dipercaya’ dalam hal ini didefinisikan sebagai pelayanan keperawatan
yang ‘konsisten’. Oleh karena itu, penjabaran keandalan dalam pelayanan
keperawatan adalah : prosedur penerimaan pasien yang cepat dan tepat;
pemberian perawatan yang cepat dan tepat; jadwal pelayanan perawatan
dijalankan dengan tepat dan konsisten (pemberian makan, obat, istirahat, dan
lain-lain); dan prosedur perawatan tidak berbelat belit.
c. Responsiveness (ketanggapan) :
Perawat yang tanggap adalah yang ‘bersedia atau mau membantu pelanggan’
dan memberikan’pelayanan yang cepat/tanggap’. Ketanggapan juga
didasarkan pada persepsi pasien sehingga faktor komunikasi dan situasi fisik
disekitar pasien merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena
itu ketanggapan dalam pelayanan keperawatan dapat dijabarkan sebagai
berikut : perawat memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti
oleh pasien; kesediaan perawat membantu pasien dalam hal beribadah;
kemampuan perawat untuk cepat tanggap menyelesaikan keluhan pasien; dan
tindakan perawat cepat pada saat pasien membutuhkan.
d. Assurance (jaminan kepastian) :
Jaminan kepastian dimaksudkan bagaimana perawat dapat menjamin
pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien berkualitas sehingga
pasien menjadi yakin akan pelayanan keperawatan yang diterimanya. Untuk
mencapai jaminan kepastian dalam pelayanan keperawatan ditentukan oleh
komponen : ‘kompetensi’, yang berkaitan dengan pengetahuan dan
keterampilan perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan;
‘keramahan’, yang juga diartikan kesopanan perawat sebagai aspek dari sikap
perawat; dan ‘keamanan’, yaitu jaminan pelayanan yang menyeluruh sampai
tuntas sehingga tidak menimbulkan dampak yang negatif pada pasien dan
menjamin pelayanan yang diberikan kepada pasien aman.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 16
e. Emphaty (empati) :
Empati lebih merupakan ’perhatian dari perawat yang diberikan kepada pasien
secara individual’. Sehingga dalam pelayanan keperawatan, dimensi empati
dapat diaplikasikan melalui cara berikut, yaitu : memberikan perhatian khusus
kepada setiap pasien; perhatian terhadap keluhan pasien dan keluarganya;
perawatan diberikan kepada semua pasien tanpa memandang status sosial dan
lain-lain.
Uraian mengenai dimensi mutu di atas akan membantu kita untuk menentukan
mutu pelayanan keperawatan. Mutu pelayanan keperawatan jika dipandang sebagai
suatu sistem yang terdiri dari input, proses dan outcome, maka mutu pelayanan
keperawatan merupakan interaksi dan ketergantungan antara berbagai aspek,
komponen atau unsur pelayanan keperawatan. Dan untuk menjaga mutu pelayanan
keperawatan perlu dilakukan penilaian sebagai evaluasi dari mutu pelayanan
tersebut. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai penilaian mutu yang akan
dibahas pada sub bab berikut ini.
3. Penilaian Mutu
Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu :
a. Struktur (Input)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) mengatakan bahwa struktur
merupakan masukan (input) yang meliputi sarana fisik
perlengkapan/peralatan, organisasi, manajemen, keuangan, sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya dalam fasilitas keperawatan. Baik tidaknya
struktur sebagai input dapat diukur dari jumlah besarnya mutu, mutu struktur,
besarnya anggaran atau biaya, dan kewajaran. Penilaian juga dilakukan
terhadap perlengkapan-perlengkapan dan instrumen yang tersedia dan
dipergunakan untuk pelayanan. Selain itu pada aspek fisik, penilaian juga
mencakup pada karakteristik dari administrasi organisasi dan kualifikasi dari
profesi kesehatan.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 17
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Tappen (1995), yaitu bahwa
struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan keperawatan yang
diberikan dan sumber daya yang memadai. Aspek dalam komponen struktur
dapat dilihat melalui : 1) fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai
pelayanan dan keamanan; 2) peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni
menempatkan peralatan; 3) staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, ratarata turnover, dan rasio pasien-perawat; dan 4) Keuangan, yaitu meliputi gaji,
kecukupan dan sumber keuangan.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pendekatan struktur lebih
difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan pelayanan
keperawatan, diantaranya yaitu : 1) fasilitas fisik, yang meliputi ruang
perawatan yang bersih, nyaman dan aman, serta penataan ruang perawatan
yang indah; 2) peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapih
dan ditata dengan baik; 3) staf keperawatan sebagai sumber daya manusia,
baik dari segi kualitas maupun kuantitas; 4) dan keuangan, yang meliputi
bagaimana mendapatkan sumber dan alokasi dana. Faktor-faktor yang menjadi
masukan ini memerlukan manajemen yang baik, baik manajemen sumber daya
manusia, keuangan maupun logistik.
b. Proses (Process)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) menjelaskan bahwa pendekatan ini
merupakan proses yang mentransformasi struktur (input) ke
dalam hasil (outcome). Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara
profesional oleh tenaga kesehatan (perawat) dan interaksinya dengan pasien.
Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi tindakan,
prosedur dan penanganan kasus. Dengan kata lain penilaian dilakukan
terhadap perawat dalam merawat pasien. Dan baik tidaknya proses dapat
diukur dari relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas, mutu
proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, dan
kewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan).
Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses dihubungkan
dengan aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan. Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 18
Hal ini termasuk perawatan fisik, intervensi psikologis seperti pendidikan dan
konseling, dan aktivitas kepemimpinan. Penilaian dapat melalui observasi atau
audit dari dokumentasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan
ini difokuskan pada pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan oleh
perawat terhadap pasien dengan menjalankan tahap-tahap asuhan
keperawatan. Dan dalam penilaiannya dapat menggunakan teknik observasi
maupun audit dari dokumentasi keperawatan. Indikator baik tidaknya proses
dapat dilihat dari kesesuaian pelaksanaan dengan standar operasional
prosedur, relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas pelaksanaannya.
c. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat terhadap
pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik
positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang
telah diberikan (Donabedian, 1987 dalam Wijono 2000). Sedangkan Tappen
(1995) menjelaskan bahwa outcome berkaitan dengan hasil dari aktivitas yang
diberikan oleh petugas kesehatan. Hasil ini dapat dinilai dari efektifitas dari
aktivitas pelayanan keperawatan yang ditentukan dengan tingkat kesembuhan
dan kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitu
pada hasil dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan
derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal tersebut
dapat dijadikan indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan.
Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator dalam
melakukan penilaian terhadap mutu. Namun sebagai suatu sistem penilaian mutu
sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi struktur,
proses dan hasil. Dan setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan
strategi yang tepat untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif dari mutu
pelayanan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu
mengalami perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai strategi
mana yang tepat dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan mutu pelayanan Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 19
keperawatan. Oleh karena itu pada sub bab berikutnya akan dibahas mengenai
strategi dalam mutu pelayanan keperawatan.
4. Strategi Mutu
a. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-an
implementasi pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini merupakan
program untuk mendesain standar pelayanan keperawatan dan mengevaluasi
pelaksanaan standar tersebut (Swansburg, 1999). Sedangkan menurut Wijono
(2000), Quality Assurance sering diartikan sebagai menjamin mutu atau
memastikan mutu karena Quality Assurance berasal dari kata to assure yang
artinya meyakinkan orang, mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan
atau menjaga. Dimana dalam pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik
seperti inspeksi, internal audit dan surveilan untuk menjaga mutu yang
mencakup dua tujuan yaitu : organisasi mengikuti prosedur pegangan kualitas,
dan efektifitas prosedur tersebut untuk menghasilkan hasil yang diinginkan.
Dengan demikian quality assurance dalam pelayanan keperawatan adalah
kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu pelayanan
keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar. Dimana metode yang
digunakan adalah : audit internal dan surveilan untuk memastikan apakah
proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien)
telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP); evaluasi proses;
mengelola mutu; dan penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu sistem
(input, proses, outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan difokuskan
hanya pada satu sisi yaitu pada proses pemberian pelayanan keperawatan
untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan.
b. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan merupakan
perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an.
Continuous Quality Improvement (Peningkatan mutu berkelanjutan) sering
diartikan sama dengan Total Quality Management karena semuanya mengacu Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 20
pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh. Namun menurut
Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000) bahwa ada perbedaan
sedikit yaitu Total Quality Management dimaksudkan pada program industri
sedangkan Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijono
(2000) mengatakan bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan
upaya peningkatan mutu secara terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan
pasien. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu yang tinggi dalam
pelayanan keperawatan yang komprehensif dan baik, tidak hanya memenuhi
harapan aturan yang ditetapkan standar yang berlaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994) bahwa Quality
Improvement merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan pelayanan
yang baik. Dan Continuous Quality Improvement sebagai filosofi peningkatan
mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan dengan memberikan
pelayanan yang baik yaitu yang dapat menimbulkan kepuasan pelanggan
(Shortell, Bennett & Byck, 1998, Pengkajian Dampak Continuous Quality
Improvement dalam Praktek Klinik, hlm.594 , ¶ 2,
http//www.shortell/sm/qi.com, diperoleh tanggal 30 September 2006)
Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality Improvement dalam
pelayanan keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan secara terus menerus yang memfokuskan mutu pada perbaikan
mutu secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami
mengenai karakteristik-karakteristik yang dapat mempengaruhi mutu dari
outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.
c. Total quality manajemen (TQM)
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara
meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau
proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan
menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan
berfokus pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruhDisampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 21
D. Manajemen Resiko
Manajemen Resiko adalah mencegah injuri dengan mengidentifikasi potensial
faktor resiko dan mengambil langkah untuk mengendalikan faktor-faktor tersebut. Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam manajemen resiko diantaranya adalah : 1) menciptakan
hubungan yang baik antara perawat dan klien, 2) Pahami kebijakan instusi dan proses
yang berlaku, 3) Dokumentasi tindakan keperawatan : faktual, menunjuk waktu, runtut,
nama dan paraf, 4) Jaminan keamanan klien, 4) Laporan kejadian khusus (incident)
Dalam memfasilitasi jaminan keamanan pada pasien/klien, unsure-unsur penting
yang harus dilakukan dalam memberikan pelayanan keperawatan adalah : 1) Cegah dari
potensi bahaya fisik dan lindungi martabat klien, 2) Kesiapan alat-alat pendukung tindakan
dan pemakaian secara proper, 3) Lakukan setiap tindakan sesuai standar.
Laporan kejadian khusus adalah “kejadian diluar kebiasaan dan tidak konsisten
dengan operasional rutin institusi atau asuhan baku baik disertai dengan potensi bahaya
atau sudah terjadi injury, melibatkan klien-keluarga, pengunjung atau staf”. Sebagai contoh
: kesalahan pengobatan, jatuh, kegagalan penggunaan alat, atau kehilangan barang.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Laporan Kejadian Khusus adalah :
Prioritas tetap individu yang terkena dan mencegah injury lebih lanjut
Laporan lisan harus segera disampaikan kepada yang bertanggung jawab terhadap
keadaan tersebut
Laporan tertulis, berupa deskripsi faktual yang memuat : data kejadian, apa yang
dikemukakan klien, apa yang diamati, sirkumtansis saat kejadian. Namun laporan
tidak berisi analisis dan kesimpulan.
KESIMPULAN
Pengawasan dan Pengendalian merupakan proses akhir dari proses manajemen,
dimana sangat berkaitan dengan masing-masing proses manajemen lainnya, karena pada
prosesnya dilakukan evaluasi yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan. Dengan demikian pengawasan dan pengendalian dalam prosesnya mencakup
penilaian kinerja staf keperawatan, supervisi, manajemen mutu dan manajemen resiko.
Dimana untuk mencapai kualitas pelayanan yang baik, perlu diupayakan peningkatan
kualitas yang terus menerus dan mempertahankan segala sesuatu yang baik berjalan
dengan baik.Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan
RSUD ’45 Kuningan, 11-16 Mei 2009 22
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. (1996). Menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Jakarta : Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Colton. (2000). Quality improvement in healthcare, hlm.20, http//www.ehp.sagepub.com,
diperoleh tanggal 30 September 2006
DepKesRI (2003), Indonesia sehat 2010. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I
Gillies, D.A. (1994). Nursing management, a system approach. Third Edition. Philadelphia
: WB Saunders.
Harris, M. (1989). Quality assurance : administrative support. Maryland : Aspen
Publication.
Kottler, P. (1997). Marketing management analysis, planning, implementation and control
& edition. New Jersey: Prentice Hall Inc
Kozier, Erb & Blais. (1997). Profesional nursing practice : concept & perspectives. Third
Edition. California : Addison Wesley Publishing.Inc
Meisenheimer, C.G. (1989). Quality Assurance for Home Health Care. Maryland : Aspen
Publication.
Oki. (2000). Dimensi mutu pada organisasi jasa. Jakarta : Manajemen Manusia Press.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (1994). Fundamental of nursing, concepts, proccess and
practise. St.Louis : Mosby Year Book Inc.
Shortell, S.M. & Kaluzny, A.D. (1994). Health care management. organization design and
behavior. Third Edition. Canada : Delmar Publishers.
Shortell, S.M., Bennett, C.L. & Byck, G.R. (1998). Assessing the impact of continuous
quality improvement on clinical practice : what it will take to accelerate progress.
http//www.shortell_SM.QI, diperoleh tanggal 30 September 2006.
Swansburg, R.C. & Swansburg, R.J. (1999). Introductory management and leadership for
nurses. Canada : Jones and Barlett Publishers.
Tappen (1995). Nursing leadership and management : Concepts & Practice. Philadelphia :
F.A. Davis Company.
Tjiptono, F. (2004). Prinsip-prinsip total quality service (TQS). Yogyakarta : Andi Press.
Tjong, A.E.S. (2004). Perubahan paradigma ke arah budaya melayani dalam pelayanan
prima di RS. Jurnal Manajemen & Administrasi Rumah Sakit Indonesia, 5 (1), 7-
14.
Wijono, D. (2000). Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Teori, Strategi dan Aplikasi.
Volume.1. Cetakan Kedua. Surabaya : Airlangga Unniversity Press.
Yaslis, I. (2004). Perencanaan SDM rumah sakit. teori, metoda dan formula. Depok :
FKM-UI.
Langganan:
Postingan (Atom)